Selasa, 01 Mei 2012


Implikasi Karakteristik Peserta Didik Terhadap Penyelenggaraan Pendidikan

Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas dari Mata Kuliah Perkembangan Peserta Didik






Disusun oleh:
Kelompok 12

Muzdalipah                         1210209070
Risya Siti Sundari              1210209085
Yanti Susanti                      1210209103
Yulianti                               1210209106



UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
PRODI  PENDIDIKAN GURU MI
BANDUNG
2011



BAB I
PENDAHULUAN

       A.    Latar Belakang Mansalah
Setiap individu dikatakan sebagai peserta didik apabila ia telah memasuki usia sekolah. Usia 4-6 tahun, di taman kanak-kanak. Usia 6 atau 7 tahun di sekolah dasar. Usia 13-16 tahun d i SMP dan usia 16-19 tahun di SMA. Setiap individu memilikiciri, sifat bawaan (heridity) dan karakteristik yang diperoleh dari pengaruh lingkungan. Karakteristik bawaan, baik yang bersifat biologis maupun psikologis yang dimiliki sejak lahir. Apa yang difikirkan, dikerjakan, atau dirasakan seseorang, atau merupakan hasil perpaduan antara apa yang ada diantara faktor-faktorbiologis yang diwariskan dan pengaruh lingkungan sekitarnya.
Ada beberapa yang menjadi masalah yaitu bagaimana karakter peserta didik?, bagaimana implikasi karakteristik peserta didik terhadap penyelenggaraan pendidikan usia anak SD?, dan bagaimana implikasi karakteristik peserta didik terhadap penyelenggaraan pendidikan usia sekolah menengah? Maka dari itu makalah ini akan membahas lebih dalam lagi tentang permasalahan diatas.

      B.     Rmusan Masalah
1.      Bagaimana karakter peserta didik?
2.      Bagaimana karakteristik dan kebutuhan anak SD terhadap penyelenggaraan
pendidikan?
3.      Bagaimana Penyelenggaraan pendidikan bagi usia sekolah dasar?
4.      Bagaimana Implikasi perkembangan proses kognitif  terhadap pendidikan?
5.      Bagaimana Implikasi karakteristik peperkembangan anak usia sekolah menengah terhadap penyelenggaraan pendidikan?
6.      Bagaimana Implikasi proses penyesuaian remaja terhadap penyelenggaraan pendidikan?
     C.     Tujuan pembahasan
1.      Mengetahui karakter peserta didik.
2.      Mengetahui karakteristik dan kebutuhan anak terhadap penyelenggaraan pendidikan.
3.      Mengetahui penyelenggaraan pendidikan bagi usia sekolah dasar.
4.      Mengetahui implikasi perkembangan proses kognitif terhadap pendidikan.
5.      Mengetahui implikasi karakteristik perkembangan anak usia sekolah menengah.
6.      Mengetahui implikasi proses penyesuaian remaja terhadap penyelenggaraan pendidikan.


BAB II
       PEMBAHASAN         

     A.    KARAKTERISTIK PESERTA DIDIK
a.       Pengertian Individu sebagai Peserta Didik
Istilah individu berasal berasal dari kata invidera berati satu kesatuan organisme yang tidak dapat dibagi-bagi lagi atau tidak dapat dipisahkan. Individu merupaka kata benda dari individual yang berarti orang atau perseorangan (echols, 1975:519)[1].
Setiap individu dikatakan sebagai peserta didik apabila ia telah memasuki usia sekolah. Usia 4-6 tahun, di taman kanak-kanak. Usia 6 atau 7 tahun di sekolah dasar. Usia 13-16 tahun di SMP dan usia 16-19 tahun di SMA. Jadi, peserta didik adalah[2], anak, individu, yang tergolong dan tercatat sebagai siswa di dalam satuan pendidikan.
b.      Karakteristik Individu sebagai Peserta Didik
Setiap individu memilki ciri, sifat bawaan (heridity), dan karakteristik yang diperoleh dari pengaruh lingkungan sekitarnya. Ahli psikologi[3] berpendapat bahwa kepribadian di bentuk oleh perpaduan faktor pembawaan dan lingkungan. Karakteristik bawaan, baik yang bersifat biologis maupun psikologis dimiliki sejak lahir. Apa yang difikirkan, di kerjakan atau dirasakan seseorang, atau merupakan hasil perpaduan antara apa yang ada diantara faktor-faktor biologis yang diwariskan dan pengaruh lingkungan sekitarnya.
Karakteristik pribadi yang dibawa kesekolah terbentuk dari pengaruh lingkungan. Hal itu berpengaruh cukup besar terhadap keberhasilan atau kegagalannya disekolah dan pada masa-masa perkembangan selanjutnya. Karakteristik yang berkaitan dengan perkembangan faktor biologis cenderung lebih bersifat tetap (ajeg), sedangkan karakteristik yang berkaitan dengan faktor psikologis lebih mudah berubah  karena dipengaruh oleh pengalaman dan lingkungan.

    B.           IMPLIKASI KARAKTERISTIK DAN KEBUTUHAN ANAK SD TERHADAP PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN
Karakteristik pertama anak SD adalah senang bermain. Karakter ini menuntut guru SD untuk melaksanakan kegiatan pendidikan yang bermuatan permainan. Lebih bagi siswa kelas rendah.  Guru SD seyogyanya merancang model pembelajaran yang memungkinkan adanya unsur permainan  di dalamnya. Guru hendaknya mengembangkan model pengajaran yang serius tapi santai (“sersan”). Penyusunan jadwal pelajaran hendaknya diselang-seling antara mata pelajaran yang serius seperti matematika, dengan pelajaran yang mengandung unsur permainan seperti pendidikan jasmani, atau kerajinan tangan dan kesenian (KTK).
Karakteristik yang kedua dari anak SD adalah senang bergerak, orang dewasa bisa duduk berjam-jam, sedangkan anak SD dapat duduk dengan tenang paling lama sekitar 30 menit. Oleh karena itu, guru hendaknya merancang model pembelajaran yang memungkinkan anak berpindah atau bergerak. Menyuruh anak duduk  rapi untuk jangka waktu yang, dirasakan anak sebagai siksaan.
Karakteristik yang ketiga dari anak usia SD adalah anak senag bekerja dalam kelompok. Dari pergaulannya dengan kelompok sebaya, anak belajar aspek-aspek yang penting dalam proses sosialisasi, seperti: belajar memenuhi aturan-aturan kelompok, belajar setia kawan, belajar tidak bergantung pada orang dewasa, belajar bekerja sama, mempelajari perilaku yang dapat diterima oleh lingkunganya, belajar menerima tanggung jawab, belajar bersaing dengan orang olang lain secara sehat (sportif), mempelajari olahraga dan permainan kelompok, serta belajar keadilan dan demokrasi. Karakteristik ini membawa implikasi bahwa guru harus merancang model pembelajaran yang memungkinkan anak untuk bekerja atau belajar dalam kelompok. Guru dapat meminta siswa untuk membentuk kelompok kecil dengan anggota 3-4 orang untuk mempelajari atau menyelesaikan suatu tugas secara kelompok.
Karakteristik yang keempat anak SD adalah senang merasakan atau melakukan/meragakan sesuatu secara langsung. Ditinjau dari teori perkembangan kognitif, anak SD memasuki tahap operasi konkret. Dari apa yang dipelajari di sekolah, ia belajar menghubungkan konsep-konsep baru dengan konsep-konsep lama. Berdasarkan pengalaman ini siswa membentuk konsep-konsep tentang angka, ruang, waktu, fungsi-fungsi badan, peran jenis kelamin, moral dan sebagainya. Bagi anak SD, penjelasan guru tentang materi pelajaran akan lebih dipahami jika anak melaksanakan sendiri, sama halnya dengan pemberian contoh bagi orang dewasa. Dengan demikian guru hendaknya merancang model pembelajaran yang memungkinkan anak terlibat langsung dalam proses pembelajaran. sebagai contoh anak akan lebih memahami tentang arah angin, dengan cara membawa anak langsung ke luar kelas, kemudian menunjuk langsung setiap arah angin, bahkan dengan sedikit menunjukan lidah akan diketahui secara persis dari mana arah angin saat itu bertiup.[4]
Di samping memperhatikan karakteristik anak usia SD, implikasi pendidikan dapat juga bertolak dari kebutuhan peserta didik. Selain itu kebutuhan SD dapat diidentifikasi dari tugas-tugas perkembangannya. Tugas-tugas perkembangan adalah tugas-tugas yang muncul pada saat atau pada suatu periode tertentu dari kehidupan individu, jika berhasil maka akan menimbulkan rasa bahagia dan membawa ke arah keberhasilan dalam melaksanakan tugas-tugas berikutnya, sebaliknya jika mengalami kegagalan dalam melaksanakan tugas itu akan menimbulkan rasa tidak bahagia, di tolak oleh masyarakat dan kesulitan dalam menghadapi tugas-tugas berikutnya.
Tugas-tugas itu bersumber dari kematangan fisik, lingkungan kebudayaan, keinginan, dan lain-lain kepribadian yang sedang tumbuh[5]
  • Tugas perkembangan yang bersumber dari kematangan fisik adalah belajar berjalan, belajar melempar-menangkap dan menendang bola, belajar menerima jenis kelamin yang berbeda dengan dirinya.
  • Tugas perkembangan yang bersumber dari kebudayaan adalah belajar membaca, menulis dan berhitung, belajar bertanggung jawab sebagai warga negara.
  • Tugas perkembangan yang bersumber dari nilai-nilai kepribadian adalah memilih dan mempersiapkan untuk bekerja, memperoleh nilai filsafat dalam kehidupan.
Pemahaman terhadap tugas-tugas perkembangan anak SD sangat berguna bagi pendidikan. Havighurst (1961:5)[6] mengajukan dua alasan pentingnya pemahaman terhadap konsep tugas-tugas perkembangan bagi pendidikan, yaitu :
First, it helps in discovering and stating the perposes of education in school. Education my be conceived as the society, through the school, to help the individual achieve certain of his development tasks.
The second use of concept is in the timing of educational efforts. When the body is ripe, and society requeres, and the self is ready to achieve a certain tasks, the teachable moment has come.
Perincian tugas-tugas perkembangan anak usia SD menurut Havighurst[7] dan implikasinya terhadap penyelenggaraan pendidikan adalah :
1.      Pembelajaran Keterampilan Fisik yang Diperlukan untuk Permainan Sehari-hari
Pada usia SD, anak dituntut untuk menguasai keteranpilan fisik yang diperlukan dalam permainan dan aktivitas fisik.  Contohnya keterampilan dalam menangkap, melempar dan menendang, berguling, berenang sserta mempergunakan alat-alat permainan yang sederhana.
Keterampilan itu dapat dikuasai anak usia SD karena pada usia itu merupakan periode pertumbuhan otot dan tulang. Pada umumnya koordinasi otot besar mendahuli otot kecil, oleh karena itu penghalusan keterampilan otot syaraf muncul pada periode akhir masa kanak-kanak daripada pada awal periode ini.
Pengembangan keterampilan ini juga didukung oleh kelompok sebaya. Kelompok sebaya memberikan ganjaran bagi anak yang sukses dan menghukum dengan tak mempedulikan atau memandang rendah terhadap anak yang gagal mencapai tugas-tugas tersebut. Anak laki-laki diharapkan memilki keterampilan fisik yang lebih kuat dari anak perempuan.
2.      Membangun Keutuhan Sikap terhadap Diri Sendiri sebagai Organisme yang Sedang Tumbuh
Untuk mencapai tugas perkembangan ini, anak usia Sd dituntut untuk memilki kebiasaan dalam memelihara badan, kebergsihan dan keamanan, ajeg  terhadap keutuhan, sikap realistis terhadap keadaan fisiknya, memiliki kemampuan untuk menyayangi badannya, memilki keutuhan sikap terhadap jenis kelamin.
Anak dapat diakui atau tidak dapat diakui oleh teman sebaya atau orang dewasadengan mempertimbangkan keadaan fisik dan keterampilan fisiknya. Permainan yang aktiv merupakan sumber kesenangan yang paling besar dalam periode ini.
Pada budaya Amerika, keadaan fisik sangat diperhatikan dengan budaya lainnya. Keadaan fisik merupakan sumber kesenangan dan nilai. Anak-anak diperhitungkan dengan anak-anak lainnya dan orang dewasa melalui keadaan fisiknya. Oleh karena itu budaya Amerika sangat menekankan pentingnya kebiasaan dan praktik hidup sehat. Diet, kebersihan dan kebiasaan hidup sehat yang teratur dipandang sebagai sesuatu yang sangat bernilai.
Berkaitan dengan pencapaian tugas perkembangan ini, kebiasaan hidup sehat hendaknya dilakukan secara rutin. Apabila dipandang perlu, pendidikan seks hendaknya dilaksanakan atas persetujuan orang tua, sehingga terjadi saling isi mengisi antara sekolah dan orang tua. Sekolah melaksanakan pendidikan seks yang dipandang tidak dapat dilakukan oleh orang tua. Fakta tentang manusia dan hewan bereproduksi hendaknya diajarkan sebelum masa pubertas. Disamping itu, sekolah hendaknya memperhatikan kesulitan dan kebingungan siswa, serta memberikan pelayanan konseling individual.
3.      Belajar Bergaul dan Bekerja dalam Kelompok Sebaya
Tugas perkembangan ini menuntut anak usia SD untuk belajar memberi dan menerima dalam kehidupan sosial di antara teman sebaya, belajar berteman dan bekerja dalam kelompok, dalam rangka mengembangkan kepribadian sosial. Untuk melaksanakannya anak harus memiliki keterampilan fisik dan penampilan fisikyang diterima bagi hubungan baik teman sebayanya.
Pada masa anak usia SD, mereka mulai keluar dari lingkungan keluarga dan mulai memasuki dunia teman sebaya. Peristiwa ini merupakan perubahan situasi dari suasana emosioanl yang aman ddengan hubungan erat dengan isu dan anggota keluarga lainnya kedalam dunia baru yang menuntut anak pandai menempatkan diri di antara temen sebayayang sedikit banyak akan berlomba dalam menarik perhatian guru.
Anak-anak belajar cara-cara mendekati orang asing, malu-malu atau berani, menjauhkan diri atau bersahabat. Ia juga belajar apa yang disebut bermain jujur (play fair) dalam permainan. Seseorang yang telah mempelajari kebiasaan-kebiasaan sosial tersebut, cenderung melanjutkannya dalam seluruh kehidupannya. Oleh karena itu, perilaku sosial anak usia 9 atau 10 tahun akan menggambarkan perilaku sosial yang akan dilakukan pada usia 50 tahunan.
Dalam masyarakat, anak-anak biasanya mempelajari tugas-tugas perkembangan ini dalam kelompok jenis kelamin campuran. Anak-anak kalangan tertentu memiliki keterbatasan dalam melakukan kontak sosial. Hal ini disebabkan oleh pengawasan keluarga terhadap teman bermainnya dan oleh lingkungan tempat tinggal, yang pada umumnya menentukan pilihan sekolah dan hubungan kekerabatan dengan tetangga. Anak-anak pada kelas bawah biasanya memiliki pilihan dan kontak sosial yang lebih bebas dibanding anak-anak kelas menengah.
Tugas perkembengan ini membawa implikasi terhadap penyelenggaraan pendidikan disekolah. Sekolah merupakan tempat yang kondusif bagi kebanyakan siswa untuk belajar bergaul dan bekerja bersama teman sebaya. Bagi guru memberi perhatian ataupun tidak, anak-anak tetap menunjukkan kepedulian yang benar terhadap tugas perkembangan ini.
4.      Mempelajari Peran Sosial sebagai Pria atau Wanita
Tugas perkembangan ini menuntut anak untuk belajar berperan sebagai pria atau wanita sesuai dengan jenis kelaminnya sebagaimana yang diharapkan. Berkenaan dengan peran anak sesuai dengan jenis kelaminnya, budaya masyarakat mengharapkan perilaku yang bereda antara anak laki-laki dengan anak perempuan. Sebagai contoh, kalangan masyarakat mengharapkan anak laki-laki menjadi penjelajah (figher) yang baik.
Dalam pencapaian tugas perkembangan ini, perbedaan anatomi antara pria dan wanita tidak menuntut perbedaan peran jenis kelamin selama anak sekolah dasar. Tubuh anak wanita sebagaimana anak laki-laki tumbuh dengan baik melalui aktifitas fisik sehingga menjadi kuat dan besar. Baru pada usia sembilan atau sepuluh tahun, terdapat perbedaan anatomi antara anak laki-laki dengan wanita.
Landasan psikologis untuk pencapaian tugas perkembangan ini bergantung pada keluarga. Anak-anak laki-laki diharapkan menjadi laki-laki begitu juga anak wanita diharapkan menjadi wanita. Sekolah hendaknya lebih menekankan pada fungsi perbaikan jika ada anak yang mengalami hambatan dalam pencapaian tugas perkembangan ini.
5.      Pengembangan Keterampilan Dasar dalam Membaca, Menulis dan Berhitung
Tugas perkembangan ini menuntut anak untuk belajar membaca, menulis dan menghitung secara memadai agar mampu beradaptasi dengan masyarakat. Tugas perkembangan ini mungkin dicapai anak SD karena secara biologis keadaan tubuh dan syaraf pada usia ini sudah cukup matang, yang memungkinkan anak untuk mulai belajar membaca, menulis dan berhitung. Terdapat beberapa bukti menunjukkan bahwa anak yang belum genap usia enam tahun secara biologis belum matang untuk belajar menulis. Pada anak usia sebelum enam tahun otot-otot dan sistem syaraf pada jari, lengan dan tangan belum memadai untuk mulai menulis, mata belum siap untuk membaca.  Kebanyakan anak akan mampu beradaptasi dengan baik untuk belajar membaca, menulis dan berhitung pada usia tujuh tahun. Lebih lanjut dikemukakan bahwa sekolah kurang memberikan tekanan terhadap siswa untuk belajar membaca dan menulis pada usia enam tahun. Anak-anak akan mempelajari  keterampilan tersebut sangat cepat dan memadai pada usia tujuh atau delapan tahun.
Berkenaan dengan keterampilan membaca, studi-studi psikologis menunjukkan bahwa membaca dipelajari oleh kebanyakan masyarakat hingga usia dua belas atau tiga belas tahun. Pada usia dua belas atau tiga belas tahun kecepatan membaca dalam hati dan kemampuan membaca bersuara jarang meningkat lagi, tapi kemampuan dalam mengambil makna dari isi bacaan terssebut akan terus bertambah selama ia terus belajar. Keterampilan dalam berhitung dapat berkembang hingga usia dua belas atau tiga belas tahun tapi jarang berkembang lagi jika tidak melanjutkan ke sekolah menengah atau perguruan tinggi.
6.      Pengembangan Konsep-konsep yang Perlu dalam Kehidupan Sehari-hari
Tugas perkembangan ini menuntut anak usia SD untuk memperoleh sejumlah konsep yang diperlukan untuk berfikir efektif berkenaan dengan pekerjaan, kewarganegaraan, dan peristiwa-peristiwa sosial.
Secara psikologis, pada saat anak-anak siap memasuki sekolah, ia sebenarnya telah memiliki perbendaharaan beberapa ratus konsep terutama konsep-konsep yang sederhana seperti: benruk lingkaran, rasa, warna, binatang, makanan, marah dan cinta. Konsep merupakan alat untuk berfikir. Berdasarkan konsep yang dimilikinya, anak akan membentuk konsep baru melalui pengalaman pengganti seperti melalui bacaan, mendengar cerita, atau melihat film. Disamping it, terdapat sejumlah konsep yang umumnya dipelajari selama usia sekolah atau sebelumnya, dan dikembangkan terus pada masa kehidupan selanjutnya.
Untuk mencapai tugas perkembangan ini, sekolah merupakan tempat yang kondusif untuk mempelajari sejumlah konsep. Kurikulum sekolah hendaknya memberikan pengalaman yang sekonkret mungkin, terutama pada awal-awal tahun. Baru pada tahun-tahun selanjutnya pengembangan konsep dapat dilakukan melalui bacaan. Pemberian bahan pelajaran tertentu seperti dalam pelajaran sejarah, geografi dan matematika akan lebih dipahami anak jika guru memahami tingkat konsep yang telah dimiliki siswa berkenaan dengan konsep waktu, ruang dan angka.
7.      Pengembangan Kata Hati dan Nilai-nilai
Tugas perkembangan anak ini menuntut anak usia SD untuk mengembangkan kontrol moral dari dalam, menghargai aturan moral dan memulai dengan skala nilai yang rasional. Secara psikologis, anak pada saat lahir belum memilki kata hati dan nilai-nilai. Dasar pembentukan kata hati adalah pemberian hukuman dari orang tua yang dipadukan dengan kasih sayang dan pemberian ganjaran terhadap anak, serta ketergantungan dan kasih sayang terhadap orang tua. Sejak saat itu orang tua telah menanamkan kekuatan kontol moral yang akan mengendalikan anak kemanapun ia pergi.
Moralitas atau penghargaan terhadap aturan perilaku, pada mulanya dipaksakan oleh orang tua terhadap anak-anaknya. Baru pada tahap selanjutnya (menurut Jean Piaget) anak-anak mempelajari aturan-aturan yang penting dan berguna dalam kehidupan bermasyarakat. Dari aturan-aturan anak-anak belajar tentang moralitas bekerja sama yang merupakan otonomi moral yang benar dan sangat penting dalam kehidupan masyarakat demokrasi. Anak usia sekolah dasar merupakan tahap yang sangat penting dalam mempelajari moralitas kerja sama (menurut Jean Piaget). Pendidikan hendaknya mengembangkan nilai-nilai yang memungkinkan anak mampu menentukan pilihan yang stabil dan pilihan itu menjadi pegangan bagi dirinya.
8.      Mencapai Kemandirian Pribadi
Tugas perkembangan ini menuntut anak usia SD untuk menjadi pribadi yang mandiri, mampu membuat perencanaan dan melaksanakan kegiatan pada saat ini dan di masa mendatang secara mandiri tidak tergantung pada orang tua atau orang yang lebih tua. Secara psikologis anak usia SD telah mandiri dari orang tua, namun secara emosional masih bergantung pada mereka.
Tugas-tugas perkembangan dan implikasi terhadap pendidikan, bertolak dari sumber fisik, psikologis dan nilai serta aspirasi pribadi, tugas-tugas perkembangan anak SD di indonesia adalah pencapaian perilaku yang seyogiyanya ditampilkan anak SD yang mencakup : sikap dan kebiasaan dalam berintaq (iman dan taqwa), pengembangan kata hati-moral dan nilai-nilai, pengembangan keterampilan dasar dalam calistung, pengembangan konssep-konsep yang perlu dalam kehidupan sehari-hari, belajar bergaul dan bekerja dalam kelompok sebaya, belajar menjadi pribadi yang mandiri, mempelajari keterampilan fisik sederhana, membina hidup sehat, belajar menjalankan peranan sosial sesuai dengan jenis kelamin, pengembangan sikap terhadap kelompok dan lembanga-lembaga sosial.
            Tugas perkembangan tersebut menuntut guru untuk[8]:
1.        Menciptakan  lingkungan teman sebaya yang mengajarkan keterampilan fisik.
2.        Melaksanakan pembelajaran yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk belajar bergaul dan bekerja dengan teman sebaya sehingga kepribadian sosialnya berkembang,
3.        Mengembangkan kegiatan pembelajaran yang memberikan pengalaman yang konkret atau langsung dalam membangun konsep.
4.        Melaksanakan pembelajaran yang dapat mengembangkan nilai-nilai sehingga siswa mampu menentukan pilihan yang stabil dan menjadi pegangan bagi dirinya. 

       C.    PENYELENGARAAN PENDIDIKAN BAGI ANAK USIA SEKOLAH DASAR
Pendidikan di sekolah dasar merupakan jenjang yang mempunyai peranan sangat penting dalam upaya meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM). Pada jenjang inilah kemampuan dan keterampilan dasar dikembangkan pada peserta didik, baik sebagai bekal untuk pendidikan lanjutan maupun untuk terjun kemasyarakat.
Studi longitudinal yang dilaksanakan Bloom (1964)[9] memberikan gambaran bahwa prestasi akademikumum pada kelas 12 (kelas 3 sekolah menengah) diperkaya oleh prestasi akademik pada akhir tahun kelas 3 SD. Tahun-tahun pertama nak belajar di sekolah dasar berpengaruh sangat signifikan terhadap sikap anak terhadap sekolahdan pola-pola pencapaian prestasi tahap-tahap selanjutnya. Temuan penelitian memberikan gambaran bahwa perilaku anak pada usia 6 sampai 10 tahun memiliki kadar prediksi yang tinggi bagi perilakunya nanti saat dewasa (Dinkmeyer dan Caldwel, 1970)[10].
Pada tanggal 2 mel 1994 Presiden Soeharto (waktu itu) telah mencanangkan dimulainya pelaksanaan program Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun (Wajar Diknas 9 Tahun) untuk usia 7-15 tahun. Wajib belajar pendidikan dasar mengandung arti bahwa pemerintah membuka peluang seluas-luasnya bagi semua peserta didik yang telah memenuhi persyaratan untuk memasuki jenjang pendidikan dasar (Depdikbud, 1994). Secara kuantitas penyelenggaraan pendidikan di SD telah berhasil mencapai sasarannya, yaitu 93,5% anak usia 7-12 tahun telah tertampung. Di sisi lain rendahnya kualitas terdapat sejumlah persoalan yang belum terselesaikan, yaitu: masih rendahnya angka mengulang kelas di SD.
Tujuan pelaksanaan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun, terdiri atas dua dimensi tujuan yang berkaitan satu sama lain.
  •  Pertama adalah untuk meningkatkan pemerataan kesempatan bagi setiap orang yang berumur 7-15 tahun untuk memperoleh pendidikan
  •  Kedua adalah untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia indonesia hingga mencapai minimal kelas III SMP.
Dengan adanya Wajar Diknas 9 tahun, semua lulusan SD didorong untuk melanjutkan ke SMP (Depdikbud 1994:11). Oleh karena itu, pendidikan di sekolah dasar perlu melakukan reprientasi dalam asfek: tujuan, pandangan terhadap perkembangan anak, proses pembelajaran dan evaluasi. Dalam aspek tujuan, pendidikan di SD tidak lagi menyiapkan siswa untuk terjun ke masyarakat melinkan menyiapkan siswa untuk melanjutkan pendidikan ke tingkat SMP. Maka dari itu pendidikan di SD tidak semata-mata mengembangkan kemampuan baca, tulis dan hitung, akan tetapi harus memungkinkan siswa memilki kesiapan intelektual diperlukan karena tugas-tugas pembelajaran (learning task) di SMP sebagai kelanjutan dari tugas pembelajaran di SD.
Kesipan pribadi diperlukan untuk memasuki pendidika dasar 9 tahun agar siswa memiliki ketahanan pribadi dan kemampuan penyesuaian yang adekuat terhadap tuntutan dan lingkungan belajar baru. Sedangkan kesiapan sosial dipandang sebagai salah satu pendukung yang harus dikembangkan kepada siswa SD agar mereka memilki kemampuan untuk memahami aturan dan nilai-nilai yang beragam di dalam kelompok serta mampu berinteraksi dengan kelompok yang beragam itu secara harmonis dan etis (Sunaryo Kartadinata, dkk 1994)[11].
Jenis penyelenggaraan pendidikan pada jenjang sekolah dasar meliputi Sekolah Dasa (SD), SD Kecil, SD Pamong, SD Luar Biasa, SD Terpadu, dan Madrasah Ibtidaiyah (MI)[12].
  • SD Kecil adalah SD Negeri yang didirikan di daerah yang berpenduduk sedikit
  • SD Pamong adalah SD Negeri yang didirikan untuk memberikan pelayanan bagi anak putus sekolah pada jenjang SD atau bagi anak lain yang tidak dapat datang secara teratur belajar di SD.
  • SD Luar Biasa adalah Sd yang menyelenggarakan pendidikan bagi anak yang menyandang kelainan fisik atau mental
  •  SD Terpadu adalah SD Negeri yang menyelenggarakan pendidikan bagi anak yang menyandang kelainan fisik dan atau mental bersama anak normal dengan menggunakan kurikulum yang berlaku pada SD.
  • Madrasah Ibtidaiyah adalah sekolah dasar yang berada di bawah naungan Departemen Agama.
Penyelenggaraan pendidikan untuk anak usia sekolah dasar dapat pula dilakukan melalui jalur pendidikan luar sekolah. Jenis pendidikan dalam jalur pendidikan luar sekolah meliputi: Paket A,Ujian persamaan SD, Diniyah dan Pondok Pesantren.
      D.    IMPLIKASI PERKEMBANGAN PROSES KOGNITIF TERHADAP PENDIDIKAN
Dalam persfektif pemrosesan informas, pembelajaran dipandang sebagai proses memasukan informasi kedalam memori, mempertahankan, dan kemudia mengungkapkannya kembali untuk tujuan tertentu dikemudian hari. Bagaimana perserta didik menyimpan dan menyerbarkan informasi, sebagaimana ia mengambil kembali informasi untuk melaksanakan aktivitas-aktivitas belajar yang kompleks, jelas menuntut adanya keterampilan kognitif, seperti persepsi, atensi, memori, dan sebagainya. Menurut  pendekatan ini, anak-anak secara bertahap mengembangkan kapasitas untuk memproses informasi, dan karenanya secara bertahap pula mereka bisa mendapatkan pengetahuan dan keahlian yang kompleks. Dalam hal ini, guru lebih dipandang sebagai pembimbing kognitif sehingga peserta didik mampu mengembangkan proses-proses kognitifnya untuk memahami tugas akademik. Berikut ini, akan dikemukakan beberapa strategi yang dapat digunakan guru dalam membantu peserta didik mengembangkan proses-proses kognitifnya[13].
1.      Ajak peserta didik untuk memfokuskan perhatian dan meminimalkan gangguan. Hal ini dapat dilakukan guru dengan mengemukakan tujuan pembelajaran, mengemukakan tentangpentingnya materi bagi mereka. Kemukakan juga kepada peserta didik betapa pentingnya memfokuskan perhatian ketika ia harus mengingat sesuatu. Beri mereka latihan memfokuskan perhatian tanpa adanya gangguan.
2.      Gunakan isyarat, gerakan dan perubahan nada suara yang menunjukkan bahwa ada sesuatu yang penting. Caranya bisa dengan memperkeras suara, mengulangibsesuatu dengan penekanan, berjalan keliling ruangan, menunjuk dan sebagainya.
3.      Bantu peserta didik untuk membuat isyarat atau petunjuk sendiri atau memahami satu kalimat yang perlu mereka perhatikan. Beri pariasi dari bulan ke bulan dan menu opsi untuk pilihan, seperti “perhatian”, “fokus”, atau “ingat”. Biarkan mereka mengungkapkan kata-kata tersebut atau mengucapkannya dalam hati pada diri mereka untuk memfokuskan kembali fikiran mereka yang mungkin tidak konsentrasi.
4.      Gunakan komentar konstruksional, sseperti “baik, mari kita diskusikan .....sekarang perhatikan”.
5.      Buat pembelajaran menjadi menarik. Caranya mungkin dengan menghubungkan suatu gagasan dengan minat siswa sehinhgga meningkatkan perhatian mereka, sessekali beri latihan yang tidak bisa dan menarik. Bangkitkan rasa ingin tahu mereka dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan seperti: “apa yang akan ter jadi jika ... ?”dan pertanyaan-pertanyaan dramatis lain untuk memperkenalkan berbagai topik yang akan diajarkan.
6.      Gunakan media dan teknologi secara efektif sebagai bagian dari pengajaran di kelas.
7.      Fokuskan pada pembelajaran aktif untuk membuat proses pembelajarn menjadi lebih menyenagkan, mengurangi kejenuhan dan meningkatkan perhatian.
8.      Ubah lingkungan fisik dengan merubah tata ruang, model tempat duduk, atau berpindah pada satu setting berbeda.
9.      Ubah jalur indrawi dengan memberi satu pelajaran yang mengharuskan peserta didik menyentuh, membaui, atau merasakan.
10.  Hindari perilaku yang membingungkan, seperti mengayun-ayungkan pensil atau menyentuh rambut dikepala.
11.  Dorong peserta didik untuk mengingaat materi pembelajaran secara lebih mendalam, bukan mengingat sepintas lalu. Anak akan mengingat informasi dengan lebih baik dalam jangka panjang apabila mereka memahami informasi tersebut, bukan sekedar mengingat (hafal) tanpa pemahaman. Pengulangan akan bekerja baik untuk penyandian informasi kememori jangka pendek. Namun, jika peserta didik perlu mengambil informasi dari memori jangka panjang, maka strategi pengulangan ini tidak efisien. Jadi, untuk sejumlah besar informasi, dorongan peserta didik untuk memahaminya, memberinya makna, mengelaborasi, dan mempersonifikasikannya. Beri peserta didik konsep dan ide untuk diingat, dan kemudian tanyakan kepada mereka bagaimana mereka dapat menghubungkan konsep dan ide tersebut dengan pengalaman personal dan makna personalnya. Beri mereka latihan untuk mengelaborasi suatu konsep agar mereka mampu memproses informasi secara lebih mendalam.
12.  Bantu peserta didik menata informasi yang akan dimasukan kedalam memori. Para ahli psikologi pendidikan belakangan ini lebih memfokuskan perhatian pada bagaimana anak menyusun memori mereka ketimbang bagaimana anak menambahkan sesuatu kedalam memori. Penataan informasi ini dianggap penting, karena peserta didik akan mengingat informasi dengan lebih baik jika mereka menatanya secara hierarkis. Semakin tertata informasi yang disajikan guru, maka semakin mudah peserta didik mengingatnya.
13.  Bantu peserta didik mengingat kembali informasi yang disajikan sebelumnya. Para ahli teori kognitif percaya bahwa pembelajaran merupakan satu masalah mengenai integrasi informasi baru dengan struktur kognitif yang ada. Sebelum integrasi dapat dibuat, peserta didik harus mampu mengingat kembali informasi yang sudah mereka peroleh.
14.  Bantu peserta didik memahami dan mengombinasikan informasi. Mungkin strategi tunggal terbaik untuk membantu peserta didik memahami pelajaran dan mengombinasikan informasi lama dengan informasi baru adalah membuat setiap pembelajaran bermakna mungkin. Pembelajaran yang bermakna, bukan hanya dilihat dari aspek materi atau bahannya yang bermakna, tetapi juga bermakna bagi peserta didik secara khas. Betapapun materi yang disajikan bermakna, tetapi peserta didik sendiri tidak menemukan makna tersebut bagi diri mereka, maka keahlian, keterampilan, dan pemahaman, tidak mungkin terbentuk pada diri [peserta didik, dengan demikian, pembelajaran yang bermakna dipersentasikan dengan kosakata yang memiliki arti bagi peserta didik. Istilah-istilah baru dijelaskan dengan menggunakan kata dan ide yang lebih akrab. Pembelajaran yang bermakna juga harus diorganisasi dengan baik dengan hubungan yang jelas diantara elemen pembelajaran yang berbeda.
15.  Latih peserta didik menggunakan strategi mnemonik. Mnemonik adalah salah satu strategi memori dengan cara menghafal (seni menghafal) tujuan mnemonik adalah untuk menghubungkan materi baru yang diajarkan dengan informasi lama yang sudah dikenal baik.

    E.     IMPLIKASI KARAKTERISTIK PERKEMBANGAN ANAK USIA SEKOLAH MENENGAH TERHADAP PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN

1.      Karakteristik Perkembangan Fisik dan Perilaku Psikomotorik
Perkembangan fisik pada usia remaja—terutama remaja awal (usia SMP) berlangsung sangat cepat. Kecepatan perkembangan fisik ini sering menyebabkan kekurangseimbangan pada proporsi tinggi dan berat badan.
Perilaku psikomotorik pada usia remaja menunjukan gerakan-gerakan yang canggung dan kurang terkoordinasikan. Pada masa ini terjadi perbedaan perkembangan psikomotor antara perkembangan remaja puteri dengan remaja pria. Remaja putri biasanya lebih cepat berkembang sekitar 1-2 tahun dibandingkan dengan remaja pria. Perubahan suara pada laki-laki dan menstruasi pada wanita, dapat menimbulkan gejala emosional tertentu, seperti rasa malu. Matangnya organ reproduktif membutuhkan pemuasan biologis.
Dengan memperhatikan perkembangan fisik anak usia sekolah menengah, pendidikan seyogianya menerapkan satu model pendidikan yang memisahkan pria dan wanita pada saat menjelaskan tentang perkembangan anatomi dan fisologi. Umpanya dalam pelajaran biologi atau bisa juga dalam Pelajaran Pendidikan Jasmani dan Kesehatan, ketika menjelaskan pokok bahasan tentang anatomi manusia, sebaiknya kelas pria dan wanita di pisah, supaya anak dapat dengan bebas menanyakan segala hal yang berkait erat dengan perkembangan dirinya. Pendidikan jenis kelamin (lebih dikenal dengan pendidikan seks) hendaknya diberikan secara bijaksana, supaya anak mengenal lebih jauh tentang segala hal yang berkaitan dengan seks. Orang tua jangan tabu untuk membicarakan seks dengan remaja. Remaja lebih baik bertanya kepada orang tua atau guru, daripada bertanya kepada pihak-pihak yang jutru akan menjerumuskan mereka.
Guru pembimbing dissekolah dapat berinisiatif untuk mengundang narasumber (penceramah tamu) seperti dokter ke sekolah. Adakan diskusi untuk memperjelas tentang pendidikan seks. Informasikan bahaya perilaku-perilaku menyimpang dalam pemuasan kehidupan seksual, seperti onani, mastur basi, prostitus, terhadap kesehatan badan dan kesehatan mental. Kuras tenaga remaja untuk kegiatan yang lebih bermanfaat. Sekiranya energi remaja telah tersalur ke dalam kegiatan positif, maka remaja tidak memiliki peluang untuk melamun, atau melakukan kegiatan-kegiatan yang menyimpang.
2.      Karakteristik Perkembangan Bahasa dan Perilaku Kognitif
Pada usia remaja tumbuh keinginan untuk mempelajari dan menggunakan bahasa asing. Keinginan remaja untuk menguasai bahasa asing terkadang tidak diimbangi oleh usaha yang sungguh-sungguh. Kelemahan dalam fonetik umpamanya, dapat menjadi bumerang, menjadi cemoohan teman lainnya. Akibatny sering menjadi fatal. Remaja jadi membenci pelajaran bahasa asing, bahkan membenci gurunya.
Guru bahasa asing harus memilki kearifan untuk memahami kemampuan remaja secara individual. Menurut Abin Syamsuddin Makmun (1999:96) guru dituntut untuk melakukan pemahaman yang mendalam, serta menyediakan layanan pendidikan dan bimbingan yang bijak sehingga siswa-siswa remaja yang biasanya mengalami kesulitan dan kelemahan tertentu dalam bidang studi yang sensitif tersebut. Apabila kesulitan yang dihadapi siswa tersebut dapat diatasi dengan baik, siswa tidak akan mengalami frustasi.
Keinginan siswa sekolah menengah untuk membaca telah tumbuh. Peluang ini hendaknya dimanfaatkan guru untuk memberkan tugas-tugas yang berkaitan dengan pemaknaan terhadap bacaan yang positif. Karena kalau hasrat membaca ini tidak disalurkan maka sering terjadi siswa sekolah menengah akan terdorong untuk membaca buku-buku atau majalah porno.
Dalam hal perkembangan kognitif, siswa sekolah menengah telah mampu mengoperasikan kaidah-kaidah logika formal, seperti asosiasi, diferensiasi, komparasi dan hubungan sebab-akibat (causalitas) meskipun masih bersikap abstar dan relatif terbatas. Kecakapan-kecakapan khusus (bakat) menunjukkan kecenderungan arah perkembangan yang lebih jelas.
Perkembangan bahasa dan perilaku kognitif remaja ini membawa implikasi terhadap pendidikan di sekolah. Guru hendaknya menerapkan pendekatan pembelajaran yang memperhatikan perbedaan individual sisswa sekolah menengah. Guru juga dapat mengembangkan model pembelajaran yang memberi peluang bagi siswa unggul memberikan imbas terhadap siswa yang lambat (semacam tutor sebaya dan bimbingan teman sebaya).
3.      Karakteristik Perilaku Sosial, Moralitas dan Keagamaan
Karakteristik perilaku sosiial sekolah menengah adalah adanya kecenderungan ambivalensi keinginan menyendiri dengan keinginan untuk bergaul dengan banyak teman, dan ambivalensi antara keinginan untuk bebas dari dominasi pengaruh orang tua dengan kebutuhan bimbingan dan bantuan dari orang tuanya. Siswa sekolah menengah memilki ketergantungan yang kuat kepada kelompok sebaya disertai dengan konformitas yang tinggi.
Dalam aspek pemahaman moral, usia remaja adalah usia yang kritis untuk menguji kaidah-kaidah, nilai etika atau norma dengan kenyataan yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari orang dewasa.
Perkembangan aspek keagamaan, anak usia sekolah menengah memasuki masa kritis dan skeptis. Anak usia sekolah menengah mulai mempertanyakan secara skeptis mengenai eksistensi (keberadaan) dan sifat kemurahan dan keadilan Tuhan. Usia sekolah menengah berupaya mencari dan mencoba menemukan pegangan hidupnya (Abin Syamsuddin Makmun, 1999:93).
Implikasi dari perkembangan perilaku sosial, moral, dan keagamaan anak usia sekolah menengah adalah pendidikan hendaknya dilaksanakan dalam bentuk kelompok-kelompok, atau perkumpulan remaja yang positif. Sekolah hendaknya menciptakan suasana dan menyediakan fasilitasyang memungkinkan terbentuknya kelompok-kelompok remaja yang mempunyai tujuan dan program-program kegiatan yang positif berdasarkan minat siswa.
4.      Karakteristik Perilaku Afektif, Konatif, dan Kepribadian
Memasuki usia sekolah menengah, lima kebutuhan dari Maslow, yaitu:
  • Kebutuhan fisik,
  •  Kebutuhan rasa aman,
  •  Afiliasi sosial,
  •  Penghargaan, dan
  •  Perwujudan diri.
Reaksi dan ekspresi emosinya masih labil dan belum terkendali dan sering berubah dengan cepat. Masa usia sekolah menengah ini merupakan masa krisis identitas. Sekiranya kondisi psikososialnya menunjang maka akan tampak identitas yang positif, sebaliknya jika tidak menunjang akan tampak identitas yang negatifnya.
Karakteristik ini menuntut pe,berian contoh perilaku keteladanan dari orang tua, pendidik, para elit politik, para pejabat, da tokoh-tokoh idola anak usia sekolah menengah. Ambivalensi penerapan nilai dalam berbagai tataran masyarakat dengan di sekolah akan menambah kebingungan anak remaja. Oleh karena itu, guru hendaknya memberikan peluang bagi anak usia sekolah menengah untuk belajar bertanggung jawab[14].

Karakteristik tersebut menuntut guru untuk[15]:
1.      Menerapkan model pembelajaran yang memisahkan siswa pria dan wanita ketika membahas topik-topik yang berkenaan dengan anatomi dan fisiologi;
  1. Menyalurkan hobi dan minat siswa melalui kegiatan-kegiatan yang positif;
  2. Menerapkan pendekatan pembelajaran yang memperhatikan perbedaan individual atau kelompok kecil;
  3. Meningkatkan kerja sama dengan orang tua dan masyarakat untuk mengembangkan potensi siswa;
  4. Menjadi teladan atau contoh, serta
  5. Memberikan kesempatan kepada siswa untuk belajar bertanggung jawab.
   F.   IMPLIKASI PROSES PENYESUAIAN REMAJA TERHADAP PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN
Lingkungan sekolah mempunyai pengaruh yang besar terhadap perkembangan jiwa remaja. Sekolah selain mengemban fungsi pengajaran juga fungsi pendidikan (transformasi norma). Dalam kaitannya dengan pendidikan ini, peranan sekolah pada hakikatnya tidak jauh dari peranan keluarga, yaitu sebagai rujukan dan tempat perlindingan jika anak didik mengalami masalah. Oleh karena itulah disetiap sekolah lanjutan ditunjuk wali kelas yaitu guru-guru yang akan membantu anak didik jika ia (mereka) menghadapi kesulitan dalam pelajarannya dan guru-guru bimbingan dan penyuluhan untuk membantu anak didik yang mempunyai masalah pribadi, dan masalah penyesuaian diri baik terhadap dirinya sendiri maupun terhadap tuntunan sekolah[16].
Upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk memperlancar proses penyesuaian diri remaja khususnya di sekolah adalah:
1.      Menciptakan situasi sekolah yang dapat menimbulkan rasa “betah” atau (at home) bagi anak didik, baik secara sosial, fisik maupun akademis
2.      Menciptakan suasana belajar mengajar yang menyenangkan bagi anak.
3.      Usaha memahami anak didik secara menyeluruh, baik prestasi belajar, sosial, maupun seluruh aspel pribadinya.
4.      Menggunakan metode dan alat mengajar yang menimbulkan gairah belajar.
5.      Menggunakan prosedur evaluasi yang dapat perbesar motivasi belajar.
6.      Ruangan kelas yang memenuhi syarat-syarat kesehatan.
7.      Peraturan atau tata tertib yang jelas dan di pahami murid-murid.
8.      Teladan dari para guru dari segala segi pendidikan.
9.      Kerjasama dan saling pengertian dari para guru dalam melaksanakan kegiatan pendidikan disekolah.
10.  Pelaksanaan program bimbingan dan penyuluahan yang sebaik-baiknya.
11.  Situasi kepemimpinan yang penuh saling pengertian dan tanggung jawab baik pada murid maupun pada guru.
12.  Hubungan yang baik dan penuh pengertian antara sekolah dengan orang tua siswa dan masyarakat.
Karena disekolah guru merupakan figur pendidik yang penting dan besar pengaruhnya terhadap penyesuaian siswa-siswa, maka dituntut sifat-sifat guru yang efektif, yakni sebagai berikut ( Ryand dalam Garrison, 1956)[17].
1.      Memberi kesempatan (alert), tanpak antusias dan berminat dalam aktivitas siswa dan kelas.
2.      Ramah (cheerful) dan optimistis.
3.      Mampu mengontrol diri, tidak mudah kacau (terganggu), dan teratur tindakannya.
4.      Senang kelakar, mempunyai rasa humor.
5.      Mengetahui dan mengakui kesalahan-kesalahannya sendiri,
6.      Jujur dan objektif dalam memperlakukan siswa.
7.      Menunjukkan pengertian dan rasa simpati dalam bekerja dengan siswa-siswanya.
Jika para guru bersama dengan seluruh staf di sekolah dapat melaksanakan tugasnya dengan baik, maka anak-anak didik disekolah itu yang berada dalam usia remaja akan cenderung berkurang kemungkinannya untuk mengalami permasalahan-permasalahan penyesuaian diri atau terlibat dalam masalah yang bisa menyebabkan perilaku yang menyimpang.



[1] Enung Fatimah, Psikologi Perkembangan, (Bandung, CV Pustaka Setia) hal 11.
[2] Ibid, hal 12.
[3] Ibid.
[4] Mulyani Sumantri, Perkembangan Peserta Didik, ( jakarta:Universitas terbuka, 2007) hal 6.3-6.4
[5] http//wikipedia dikunjungi tanggal 27-05-2011
[6] Op. Cit, hal. 6.5
[7] Ibid hal 6.6-6.12
[8] http//www.implikasi-karakteristik-peserta didik. Dikunjungi tanggal 27-05-2011
[9] Op. Cit, hal 6.13
[10] Ibid.
[11]Ibid
[12] Ibid. Hal 6.17
[13] Desmita. Psikologi Perkembangan Peserta Didik (Bandung: Rosda Karya). Hal 128
[14] Op. Cit, hal 6.25-6.30
[15] http//www. Implikasi Karakteristik Peserta Didik, dikunjungi tanggal 27-05-2011
[16] Sunarto. Perkembangan Peserta Didik, (Bandung: Rineka Cipta) hal 239
[17]  Ibid. hal 240


BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan 
       Karakteristik pribadi yang dibawa ke sekolah terbentuk dari pengaruh lingkungan. Hal itu berpengaruh besar terhadap keberhasilan atau kegagalannya disekolah dan pada masa-masa perkembangan selanjutnya. Karakter pada anak SD yaitu senang bermain, senang bergerak, senang bekerja dalam kelompok,senang melaksanakan/memmragakan sesuatu secara langsung. Sedangkan karakteristik pada usia sekolah menengah reaksi dan ekspresi emosinya masih labil dan belum terkendalidan sering berubah dengan cepat. Masa usia sekolah ini merupakan masa krisis identitas. Sekiranya kondisi psikososialnya menunjang maka akan tampak identitas yang positif, sebaliknya jika tidak menunjang akan tampak identitas yang negatifnya.
B.     Saran 
      Demikian makalah yang sangat sederhana ini kami sampaikan dan atas kesalahan dan kekurangannya kami mohon masukan demi kesempurnaan makalah ini. Semoga bermanfaat!