Implikasi
Karakteristik Peserta Didik Terhadap Penyelenggaraan Pendidikan
Makalah ini
disusun untuk memenuhi salah satu tugas dari Mata Kuliah Perkembangan Peserta
Didik
Disusun oleh:
Kelompok 12
Muzdalipah 1210209070
Risya Siti Sundari 1210209085
Yanti Susanti 1210209103
Yulianti 1210209106
UNIVERSITAS ISLAM
NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI
FAKULTAS TARBIYAH
DAN KEGURUAN
PRODI PENDIDIKAN GURU MI
BANDUNG
2011
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Mansalah
Setiap individu dikatakan sebagai peserta didik
apabila ia telah memasuki usia sekolah. Usia 4-6 tahun, di taman kanak-kanak.
Usia 6 atau 7 tahun di sekolah dasar. Usia 13-16 tahun d i SMP dan usia 16-19
tahun di SMA. Setiap individu memilikiciri, sifat bawaan (heridity) dan
karakteristik yang diperoleh dari pengaruh lingkungan. Karakteristik bawaan, baik
yang bersifat biologis maupun psikologis yang dimiliki sejak lahir. Apa yang
difikirkan, dikerjakan, atau dirasakan seseorang, atau merupakan hasil
perpaduan antara apa yang ada diantara faktor-faktorbiologis yang diwariskan
dan pengaruh lingkungan sekitarnya.
Ada beberapa yang menjadi masalah yaitu bagaimana
karakter peserta didik?, bagaimana implikasi karakteristik peserta didik
terhadap penyelenggaraan pendidikan usia anak SD?, dan bagaimana implikasi
karakteristik peserta didik terhadap penyelenggaraan pendidikan usia sekolah
menengah? Maka dari itu makalah ini akan membahas lebih dalam lagi tentang
permasalahan diatas.
B.
Rmusan Masalah
1. Bagaimana
karakter peserta didik?
2. Bagaimana
karakteristik dan kebutuhan anak SD terhadap penyelenggaraan
pendidikan?
3. Bagaimana
Penyelenggaraan pendidikan bagi usia sekolah dasar?
4. Bagaimana
Implikasi perkembangan proses kognitif terhadap pendidikan?
5. Bagaimana
Implikasi karakteristik peperkembangan anak usia sekolah menengah terhadap
penyelenggaraan pendidikan?
6. Bagaimana
Implikasi proses penyesuaian remaja terhadap penyelenggaraan pendidikan?
C.
Tujuan pembahasan
1. Mengetahui
karakter peserta didik.
2. Mengetahui
karakteristik dan kebutuhan anak terhadap penyelenggaraan pendidikan.
3. Mengetahui
penyelenggaraan pendidikan bagi usia sekolah dasar.
4. Mengetahui
implikasi perkembangan proses kognitif terhadap pendidikan.
5. Mengetahui
implikasi karakteristik perkembangan anak usia sekolah menengah.
6. Mengetahui
implikasi proses penyesuaian remaja terhadap penyelenggaraan pendidikan.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
KARAKTERISTIK
PESERTA DIDIK
a. Pengertian
Individu sebagai Peserta Didik
Istilah
individu berasal berasal dari kata invidera berati satu kesatuan organisme yang
tidak dapat dibagi-bagi lagi atau tidak dapat dipisahkan. Individu merupaka
kata benda dari individual yang berarti orang atau perseorangan (echols,
1975:519)[1].
Setiap
individu dikatakan sebagai peserta didik apabila ia telah memasuki usia
sekolah. Usia 4-6 tahun, di taman kanak-kanak. Usia 6 atau 7 tahun di sekolah
dasar. Usia 13-16 tahun di SMP dan usia 16-19 tahun di SMA. Jadi, peserta didik
adalah[2],
anak, individu, yang tergolong dan tercatat sebagai siswa di dalam satuan
pendidikan.
b. Karakteristik
Individu sebagai Peserta Didik
Setiap
individu memilki ciri, sifat bawaan (heridity), dan karakteristik yang
diperoleh dari pengaruh lingkungan sekitarnya. Ahli psikologi[3]
berpendapat bahwa kepribadian di bentuk oleh perpaduan faktor pembawaan dan
lingkungan. Karakteristik bawaan, baik yang bersifat biologis maupun psikologis
dimiliki sejak lahir. Apa yang difikirkan, di kerjakan atau dirasakan
seseorang, atau merupakan hasil perpaduan antara apa yang ada diantara
faktor-faktor biologis yang diwariskan dan pengaruh lingkungan sekitarnya.
Karakteristik
pribadi yang dibawa kesekolah terbentuk dari pengaruh lingkungan. Hal itu
berpengaruh cukup besar terhadap keberhasilan atau kegagalannya disekolah dan
pada masa-masa perkembangan selanjutnya. Karakteristik yang berkaitan dengan
perkembangan faktor biologis cenderung lebih bersifat tetap (ajeg), sedangkan
karakteristik yang berkaitan dengan faktor psikologis lebih mudah berubah karena dipengaruh oleh pengalaman dan
lingkungan.
B. IMPLIKASI KARAKTERISTIK DAN KEBUTUHAN ANAK SD
TERHADAP PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN
Karakteristik
pertama anak SD adalah senang bermain. Karakter ini menuntut guru SD untuk
melaksanakan kegiatan pendidikan yang bermuatan permainan. Lebih bagi siswa
kelas rendah. Guru SD seyogyanya
merancang model pembelajaran yang memungkinkan adanya unsur permainan di dalamnya. Guru hendaknya mengembangkan
model pengajaran yang serius tapi santai (“sersan”). Penyusunan jadwal
pelajaran hendaknya diselang-seling antara mata pelajaran yang serius seperti
matematika, dengan pelajaran yang mengandung unsur permainan seperti pendidikan
jasmani, atau kerajinan tangan dan kesenian (KTK).
Karakteristik
yang kedua dari anak SD adalah senang bergerak, orang dewasa bisa duduk
berjam-jam, sedangkan anak SD dapat duduk dengan tenang paling lama sekitar 30
menit. Oleh karena itu, guru hendaknya merancang model pembelajaran yang
memungkinkan anak berpindah atau bergerak. Menyuruh anak duduk rapi untuk jangka waktu yang, dirasakan anak
sebagai siksaan.
Karakteristik
yang ketiga dari anak usia SD adalah anak senag bekerja dalam kelompok. Dari
pergaulannya dengan kelompok sebaya, anak belajar aspek-aspek yang penting
dalam proses sosialisasi, seperti: belajar memenuhi aturan-aturan kelompok,
belajar setia kawan, belajar tidak bergantung pada orang dewasa, belajar
bekerja sama, mempelajari perilaku yang dapat diterima oleh lingkunganya,
belajar menerima tanggung jawab, belajar bersaing dengan orang olang lain
secara sehat (sportif), mempelajari olahraga dan permainan kelompok, serta
belajar keadilan dan demokrasi. Karakteristik ini membawa implikasi bahwa guru
harus merancang model pembelajaran yang memungkinkan anak untuk bekerja atau
belajar dalam kelompok. Guru dapat meminta siswa untuk membentuk kelompok kecil
dengan anggota 3-4 orang untuk mempelajari atau menyelesaikan suatu tugas
secara kelompok.
Karakteristik
yang keempat anak SD adalah senang merasakan atau melakukan/meragakan sesuatu
secara langsung. Ditinjau dari teori perkembangan kognitif, anak SD memasuki
tahap operasi konkret. Dari apa yang dipelajari di sekolah, ia belajar
menghubungkan konsep-konsep baru dengan konsep-konsep lama. Berdasarkan
pengalaman ini siswa membentuk konsep-konsep tentang angka, ruang, waktu,
fungsi-fungsi badan, peran jenis kelamin, moral dan sebagainya. Bagi anak SD,
penjelasan guru tentang materi pelajaran akan lebih dipahami jika anak
melaksanakan sendiri, sama halnya dengan pemberian contoh bagi orang dewasa.
Dengan demikian guru hendaknya merancang model pembelajaran yang memungkinkan
anak terlibat langsung dalam proses pembelajaran. sebagai contoh anak akan
lebih memahami tentang arah angin, dengan cara membawa anak langsung ke luar
kelas, kemudian menunjuk langsung setiap arah angin, bahkan dengan sedikit
menunjukan lidah akan diketahui secara persis dari mana arah angin saat itu
bertiup.[4]
Di
samping memperhatikan karakteristik anak usia SD, implikasi pendidikan dapat juga
bertolak dari kebutuhan peserta didik. Selain itu kebutuhan SD dapat
diidentifikasi dari tugas-tugas perkembangannya. Tugas-tugas perkembangan
adalah tugas-tugas yang muncul pada saat atau pada suatu periode tertentu dari
kehidupan individu, jika berhasil maka akan menimbulkan rasa bahagia dan
membawa ke arah keberhasilan dalam melaksanakan tugas-tugas berikutnya,
sebaliknya jika mengalami kegagalan dalam melaksanakan tugas itu akan
menimbulkan rasa tidak bahagia, di tolak oleh masyarakat dan kesulitan dalam
menghadapi tugas-tugas berikutnya.
Tugas-tugas
itu bersumber dari kematangan fisik, lingkungan kebudayaan, keinginan, dan
lain-lain kepribadian yang sedang tumbuh[5]
- Tugas perkembangan yang bersumber dari kematangan fisik adalah belajar berjalan, belajar melempar-menangkap dan menendang bola, belajar menerima jenis kelamin yang berbeda dengan dirinya.
- Tugas perkembangan yang bersumber dari kebudayaan adalah belajar membaca, menulis dan berhitung, belajar bertanggung jawab sebagai warga negara.
- Tugas perkembangan yang bersumber dari nilai-nilai kepribadian adalah memilih dan mempersiapkan untuk bekerja, memperoleh nilai filsafat dalam kehidupan.
Pemahaman
terhadap tugas-tugas perkembangan anak SD sangat berguna bagi pendidikan.
Havighurst (1961:5)[6]
mengajukan dua alasan pentingnya pemahaman terhadap konsep tugas-tugas
perkembangan bagi pendidikan, yaitu :
First,
it helps in discovering and stating the perposes of education in school.
Education my be conceived as the society, through the school, to help the
individual achieve certain of his development tasks.
The
second use of concept is in the timing of educational efforts. When the body is
ripe, and society requeres, and the self is ready to achieve a certain tasks,
the teachable moment has come.
Perincian
tugas-tugas perkembangan anak usia SD menurut Havighurst[7]
dan implikasinya terhadap penyelenggaraan pendidikan adalah :
1. Pembelajaran
Keterampilan Fisik yang Diperlukan untuk Permainan Sehari-hari
Pada
usia SD, anak dituntut untuk menguasai keteranpilan fisik yang diperlukan dalam
permainan dan aktivitas fisik. Contohnya
keterampilan dalam menangkap, melempar dan menendang, berguling, berenang
sserta mempergunakan alat-alat permainan yang sederhana.
Keterampilan
itu dapat dikuasai anak usia SD karena pada usia itu merupakan periode
pertumbuhan otot dan tulang. Pada umumnya koordinasi otot besar mendahuli otot
kecil, oleh karena itu penghalusan keterampilan otot syaraf muncul pada periode
akhir masa kanak-kanak daripada pada awal periode ini.
Pengembangan
keterampilan ini juga didukung oleh kelompok sebaya. Kelompok sebaya memberikan
ganjaran bagi anak yang sukses dan menghukum dengan tak mempedulikan atau
memandang rendah terhadap anak yang gagal mencapai tugas-tugas tersebut. Anak
laki-laki diharapkan memilki keterampilan fisik yang lebih kuat dari anak
perempuan.
2. Membangun
Keutuhan Sikap terhadap Diri Sendiri sebagai Organisme yang Sedang Tumbuh
Untuk
mencapai tugas perkembangan ini, anak usia Sd dituntut untuk memilki kebiasaan dalam
memelihara badan, kebergsihan dan keamanan, ajeg terhadap keutuhan, sikap realistis terhadap
keadaan fisiknya, memiliki kemampuan untuk menyayangi badannya, memilki
keutuhan sikap terhadap jenis kelamin.
Anak
dapat diakui atau tidak dapat diakui oleh teman sebaya atau orang dewasadengan
mempertimbangkan keadaan fisik dan keterampilan fisiknya. Permainan yang aktiv
merupakan sumber kesenangan yang paling besar dalam periode ini.
Pada
budaya Amerika, keadaan fisik sangat diperhatikan dengan budaya lainnya.
Keadaan fisik merupakan sumber kesenangan dan nilai. Anak-anak diperhitungkan
dengan anak-anak lainnya dan orang dewasa melalui keadaan fisiknya. Oleh karena
itu budaya Amerika sangat menekankan pentingnya kebiasaan dan praktik hidup
sehat. Diet, kebersihan dan kebiasaan hidup sehat yang teratur dipandang
sebagai sesuatu yang sangat bernilai.
Berkaitan
dengan pencapaian tugas perkembangan ini, kebiasaan hidup sehat hendaknya
dilakukan secara rutin. Apabila dipandang perlu, pendidikan seks hendaknya
dilaksanakan atas persetujuan orang tua, sehingga terjadi saling isi mengisi
antara sekolah dan orang tua. Sekolah melaksanakan pendidikan seks yang
dipandang tidak dapat dilakukan oleh orang tua. Fakta tentang manusia dan hewan
bereproduksi hendaknya diajarkan sebelum masa pubertas. Disamping itu, sekolah
hendaknya memperhatikan kesulitan dan kebingungan siswa, serta memberikan
pelayanan konseling individual.
3. Belajar
Bergaul dan Bekerja dalam Kelompok Sebaya
Tugas
perkembangan ini menuntut anak usia SD untuk belajar memberi dan menerima dalam
kehidupan sosial di antara teman sebaya, belajar berteman dan bekerja dalam
kelompok, dalam rangka mengembangkan kepribadian sosial. Untuk melaksanakannya
anak harus memiliki keterampilan fisik dan penampilan fisikyang diterima bagi hubungan
baik teman sebayanya.
Pada
masa anak usia SD, mereka mulai keluar dari lingkungan keluarga dan mulai
memasuki dunia teman sebaya. Peristiwa ini merupakan perubahan situasi dari
suasana emosioanl yang aman ddengan hubungan erat dengan isu dan anggota
keluarga lainnya kedalam dunia baru yang menuntut anak pandai menempatkan diri
di antara temen sebayayang sedikit banyak akan berlomba dalam menarik perhatian
guru.
Anak-anak
belajar cara-cara mendekati orang asing, malu-malu atau berani, menjauhkan diri
atau bersahabat. Ia juga belajar apa yang disebut bermain jujur (play fair)
dalam permainan. Seseorang yang telah mempelajari kebiasaan-kebiasaan sosial
tersebut, cenderung melanjutkannya dalam seluruh kehidupannya. Oleh karena itu,
perilaku sosial anak usia 9 atau 10 tahun akan menggambarkan perilaku sosial
yang akan dilakukan pada usia 50 tahunan.
Dalam
masyarakat, anak-anak biasanya mempelajari tugas-tugas perkembangan ini dalam
kelompok jenis kelamin campuran. Anak-anak kalangan tertentu memiliki keterbatasan
dalam melakukan kontak sosial. Hal ini disebabkan oleh pengawasan keluarga
terhadap teman bermainnya dan oleh lingkungan tempat tinggal, yang pada umumnya
menentukan pilihan sekolah dan hubungan kekerabatan dengan tetangga. Anak-anak
pada kelas bawah biasanya memiliki pilihan dan kontak sosial yang lebih bebas
dibanding anak-anak kelas menengah.
Tugas
perkembengan ini membawa implikasi terhadap penyelenggaraan pendidikan
disekolah. Sekolah merupakan tempat yang kondusif bagi kebanyakan siswa untuk belajar
bergaul dan bekerja bersama teman sebaya. Bagi guru memberi perhatian ataupun
tidak, anak-anak tetap menunjukkan kepedulian yang benar terhadap tugas
perkembangan ini.
4. Mempelajari
Peran Sosial sebagai Pria atau Wanita
Tugas
perkembangan ini menuntut anak untuk belajar berperan sebagai pria atau wanita
sesuai dengan jenis kelaminnya sebagaimana yang diharapkan. Berkenaan dengan
peran anak sesuai dengan jenis kelaminnya, budaya masyarakat mengharapkan
perilaku yang bereda antara anak laki-laki dengan anak perempuan. Sebagai
contoh, kalangan masyarakat mengharapkan anak laki-laki menjadi penjelajah
(figher) yang baik.
Dalam
pencapaian tugas perkembangan ini, perbedaan anatomi antara pria dan wanita
tidak menuntut perbedaan peran jenis kelamin selama anak sekolah dasar. Tubuh
anak wanita sebagaimana anak laki-laki tumbuh dengan baik melalui aktifitas
fisik sehingga menjadi kuat dan besar. Baru pada usia sembilan atau sepuluh
tahun, terdapat perbedaan anatomi antara anak laki-laki dengan wanita.
Landasan
psikologis untuk pencapaian tugas perkembangan ini bergantung pada keluarga.
Anak-anak laki-laki diharapkan menjadi laki-laki begitu juga anak wanita
diharapkan menjadi wanita. Sekolah hendaknya lebih menekankan pada fungsi
perbaikan jika ada anak yang mengalami hambatan dalam pencapaian tugas
perkembangan ini.
5. Pengembangan
Keterampilan Dasar dalam Membaca, Menulis dan Berhitung
Tugas
perkembangan ini menuntut anak untuk belajar membaca, menulis dan menghitung
secara memadai agar mampu beradaptasi dengan masyarakat. Tugas perkembangan ini
mungkin dicapai anak SD karena secara biologis keadaan tubuh dan syaraf pada
usia ini sudah cukup matang, yang memungkinkan anak untuk mulai belajar
membaca, menulis dan berhitung. Terdapat beberapa bukti menunjukkan bahwa anak
yang belum genap usia enam tahun secara biologis belum matang untuk belajar
menulis. Pada anak usia sebelum enam tahun otot-otot dan sistem syaraf pada
jari, lengan dan tangan belum memadai untuk mulai menulis, mata belum siap
untuk membaca. Kebanyakan anak akan
mampu beradaptasi dengan baik untuk belajar membaca, menulis dan berhitung pada
usia tujuh tahun. Lebih lanjut dikemukakan bahwa sekolah kurang memberikan
tekanan terhadap siswa untuk belajar membaca dan menulis pada usia enam tahun.
Anak-anak akan mempelajari keterampilan
tersebut sangat cepat dan memadai pada usia tujuh atau delapan tahun.
Berkenaan
dengan keterampilan membaca, studi-studi psikologis menunjukkan bahwa membaca
dipelajari oleh kebanyakan masyarakat hingga usia dua belas atau tiga belas
tahun. Pada usia dua belas atau tiga belas tahun kecepatan membaca dalam hati
dan kemampuan membaca bersuara jarang meningkat lagi, tapi kemampuan dalam
mengambil makna dari isi bacaan terssebut akan terus bertambah selama ia terus
belajar. Keterampilan dalam berhitung dapat berkembang hingga usia dua belas
atau tiga belas tahun tapi jarang berkembang lagi jika tidak melanjutkan ke
sekolah menengah atau perguruan tinggi.
6. Pengembangan
Konsep-konsep yang Perlu dalam Kehidupan Sehari-hari
Tugas
perkembangan ini menuntut anak usia SD untuk memperoleh sejumlah konsep yang
diperlukan untuk berfikir efektif berkenaan dengan pekerjaan, kewarganegaraan,
dan peristiwa-peristiwa sosial.
Secara
psikologis, pada saat anak-anak siap memasuki sekolah, ia sebenarnya telah
memiliki perbendaharaan beberapa ratus konsep terutama konsep-konsep yang
sederhana seperti: benruk lingkaran, rasa, warna, binatang, makanan, marah dan
cinta. Konsep merupakan alat untuk berfikir. Berdasarkan konsep yang
dimilikinya, anak akan membentuk konsep baru melalui pengalaman pengganti
seperti melalui bacaan, mendengar cerita, atau melihat film. Disamping it,
terdapat sejumlah konsep yang umumnya dipelajari selama usia sekolah atau
sebelumnya, dan dikembangkan terus pada masa kehidupan selanjutnya.
Untuk
mencapai tugas perkembangan ini, sekolah merupakan tempat yang kondusif untuk
mempelajari sejumlah konsep. Kurikulum sekolah hendaknya memberikan pengalaman
yang sekonkret mungkin, terutama pada awal-awal tahun. Baru pada tahun-tahun
selanjutnya pengembangan konsep dapat dilakukan melalui bacaan. Pemberian bahan
pelajaran tertentu seperti dalam pelajaran sejarah, geografi dan matematika
akan lebih dipahami anak jika guru memahami tingkat konsep yang telah dimiliki
siswa berkenaan dengan konsep waktu, ruang dan angka.
7. Pengembangan
Kata Hati dan Nilai-nilai
Tugas
perkembangan anak ini menuntut anak usia SD untuk mengembangkan kontrol moral
dari dalam, menghargai aturan moral dan memulai dengan skala nilai yang
rasional. Secara psikologis, anak pada saat lahir belum memilki kata hati dan
nilai-nilai. Dasar pembentukan kata hati adalah pemberian hukuman dari orang
tua yang dipadukan dengan kasih sayang dan pemberian ganjaran terhadap anak,
serta ketergantungan dan kasih sayang terhadap orang tua. Sejak saat itu orang
tua telah menanamkan kekuatan kontol moral yang akan mengendalikan anak
kemanapun ia pergi.
Moralitas
atau penghargaan terhadap aturan perilaku, pada mulanya dipaksakan oleh orang
tua terhadap anak-anaknya. Baru pada tahap selanjutnya (menurut Jean Piaget)
anak-anak mempelajari aturan-aturan yang penting dan berguna dalam kehidupan
bermasyarakat. Dari aturan-aturan anak-anak belajar tentang moralitas bekerja
sama yang merupakan otonomi moral yang benar dan sangat penting dalam kehidupan
masyarakat demokrasi. Anak usia sekolah dasar merupakan tahap yang sangat
penting dalam mempelajari moralitas kerja sama (menurut Jean Piaget).
Pendidikan hendaknya mengembangkan nilai-nilai yang memungkinkan anak mampu
menentukan pilihan yang stabil dan pilihan itu menjadi pegangan bagi dirinya.
8. Mencapai
Kemandirian Pribadi
Tugas
perkembangan ini menuntut anak usia SD untuk menjadi pribadi yang mandiri,
mampu membuat perencanaan dan melaksanakan kegiatan pada saat ini dan di masa
mendatang secara mandiri tidak tergantung pada orang tua atau orang yang lebih
tua. Secara psikologis anak usia SD telah mandiri dari orang tua, namun secara
emosional masih bergantung pada mereka.
Tugas-tugas
perkembangan dan implikasi terhadap pendidikan, bertolak dari sumber fisik,
psikologis dan nilai serta aspirasi pribadi, tugas-tugas perkembangan anak SD
di indonesia adalah pencapaian perilaku yang seyogiyanya ditampilkan anak SD
yang mencakup : sikap dan kebiasaan dalam berintaq (iman dan taqwa),
pengembangan kata hati-moral dan nilai-nilai, pengembangan keterampilan dasar
dalam calistung, pengembangan konssep-konsep yang perlu dalam kehidupan
sehari-hari, belajar bergaul dan bekerja dalam kelompok sebaya, belajar menjadi
pribadi yang mandiri, mempelajari keterampilan fisik sederhana, membina hidup
sehat, belajar menjalankan peranan sosial sesuai dengan jenis kelamin,
pengembangan sikap terhadap kelompok dan lembanga-lembaga sosial.
Tugas perkembangan tersebut menuntut guru untuk[8]:
2.
Melaksanakan
pembelajaran yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk belajar bergaul dan
bekerja dengan teman sebaya sehingga kepribadian sosialnya berkembang,
3.
Mengembangkan
kegiatan pembelajaran yang memberikan pengalaman yang konkret atau langsung dalam
membangun konsep.
4.
Melaksanakan
pembelajaran yang dapat mengembangkan nilai-nilai sehingga siswa mampu
menentukan pilihan yang stabil dan menjadi pegangan bagi dirinya.
C.
PENYELENGARAAN
PENDIDIKAN BAGI ANAK USIA SEKOLAH DASAR
Pendidikan
di sekolah dasar merupakan jenjang yang mempunyai peranan sangat penting dalam
upaya meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM). Pada jenjang inilah
kemampuan dan keterampilan dasar dikembangkan pada peserta didik, baik sebagai
bekal untuk pendidikan lanjutan maupun untuk terjun kemasyarakat.
Studi
longitudinal yang dilaksanakan Bloom (1964)[9]
memberikan gambaran bahwa prestasi akademikumum pada kelas 12 (kelas 3 sekolah
menengah) diperkaya oleh prestasi akademik pada akhir tahun kelas 3 SD.
Tahun-tahun pertama nak belajar di sekolah dasar berpengaruh sangat signifikan
terhadap sikap anak terhadap sekolahdan pola-pola pencapaian prestasi
tahap-tahap selanjutnya. Temuan penelitian memberikan gambaran bahwa perilaku
anak pada usia 6 sampai 10 tahun memiliki kadar prediksi yang tinggi bagi
perilakunya nanti saat dewasa (Dinkmeyer dan Caldwel, 1970)[10].
Pada
tanggal 2 mel 1994 Presiden Soeharto (waktu itu) telah mencanangkan dimulainya
pelaksanaan program Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun (Wajar Diknas
9 Tahun) untuk usia 7-15 tahun. Wajib belajar pendidikan dasar mengandung arti
bahwa pemerintah membuka peluang seluas-luasnya bagi semua peserta didik yang
telah memenuhi persyaratan untuk memasuki jenjang pendidikan dasar (Depdikbud,
1994). Secara kuantitas penyelenggaraan pendidikan di SD telah berhasil
mencapai sasarannya, yaitu 93,5% anak usia 7-12 tahun telah tertampung. Di sisi
lain rendahnya kualitas terdapat sejumlah persoalan yang belum terselesaikan,
yaitu: masih rendahnya angka mengulang kelas di SD.
Tujuan
pelaksanaan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun, terdiri atas dua dimensi
tujuan yang berkaitan satu sama lain.
- Pertama adalah untuk meningkatkan pemerataan kesempatan bagi setiap orang yang berumur 7-15 tahun untuk memperoleh pendidikan
- Kedua adalah untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia indonesia hingga mencapai minimal kelas III SMP.
Dengan
adanya Wajar Diknas 9 tahun, semua lulusan SD didorong untuk melanjutkan ke SMP
(Depdikbud 1994:11). Oleh karena itu, pendidikan di sekolah dasar perlu
melakukan reprientasi dalam asfek: tujuan, pandangan terhadap perkembangan
anak, proses pembelajaran dan evaluasi. Dalam aspek tujuan, pendidikan di SD
tidak lagi menyiapkan siswa untuk terjun ke masyarakat melinkan menyiapkan
siswa untuk melanjutkan pendidikan ke tingkat SMP. Maka dari itu pendidikan di
SD tidak semata-mata mengembangkan kemampuan baca, tulis dan hitung, akan
tetapi harus memungkinkan siswa memilki kesiapan intelektual diperlukan karena
tugas-tugas pembelajaran (learning task) di SMP sebagai kelanjutan dari tugas
pembelajaran di SD.
Kesipan
pribadi diperlukan untuk memasuki pendidika dasar 9 tahun agar siswa memiliki
ketahanan pribadi dan kemampuan penyesuaian yang adekuat terhadap tuntutan dan
lingkungan belajar baru. Sedangkan kesiapan sosial dipandang sebagai salah satu
pendukung yang harus dikembangkan kepada siswa SD agar mereka memilki kemampuan
untuk memahami aturan dan nilai-nilai yang beragam di dalam kelompok serta
mampu berinteraksi dengan kelompok yang beragam itu secara harmonis dan etis
(Sunaryo Kartadinata, dkk 1994)[11].
Jenis
penyelenggaraan pendidikan pada jenjang sekolah dasar meliputi Sekolah Dasa
(SD), SD Kecil, SD Pamong, SD Luar Biasa, SD Terpadu, dan Madrasah Ibtidaiyah
(MI)[12].
- SD Kecil adalah SD Negeri yang didirikan di daerah yang berpenduduk sedikit
- SD Pamong adalah SD Negeri yang didirikan untuk memberikan pelayanan bagi anak putus sekolah pada jenjang SD atau bagi anak lain yang tidak dapat datang secara teratur belajar di SD.
- SD Luar Biasa adalah Sd yang menyelenggarakan pendidikan bagi anak yang menyandang kelainan fisik atau mental
- SD Terpadu adalah SD Negeri yang menyelenggarakan pendidikan bagi anak yang menyandang kelainan fisik dan atau mental bersama anak normal dengan menggunakan kurikulum yang berlaku pada SD.
- Madrasah Ibtidaiyah adalah sekolah dasar yang berada di bawah naungan Departemen Agama.
Penyelenggaraan
pendidikan untuk anak usia sekolah dasar dapat pula dilakukan melalui jalur
pendidikan luar sekolah. Jenis pendidikan dalam jalur pendidikan luar sekolah
meliputi: Paket A,Ujian persamaan SD, Diniyah dan Pondok Pesantren.
D.
IMPLIKASI
PERKEMBANGAN PROSES KOGNITIF TERHADAP PENDIDIKAN
Dalam
persfektif pemrosesan informas, pembelajaran dipandang sebagai proses memasukan
informasi kedalam memori, mempertahankan, dan kemudia mengungkapkannya kembali
untuk tujuan tertentu dikemudian hari. Bagaimana perserta didik menyimpan dan
menyerbarkan informasi, sebagaimana ia mengambil kembali informasi untuk
melaksanakan aktivitas-aktivitas belajar yang kompleks, jelas menuntut adanya
keterampilan kognitif, seperti persepsi, atensi, memori, dan sebagainya.
Menurut pendekatan ini, anak-anak secara
bertahap mengembangkan kapasitas untuk memproses informasi, dan karenanya
secara bertahap pula mereka bisa mendapatkan pengetahuan dan keahlian yang
kompleks. Dalam hal ini, guru lebih dipandang sebagai pembimbing kognitif
sehingga peserta didik mampu mengembangkan proses-proses kognitifnya untuk
memahami tugas akademik. Berikut ini, akan dikemukakan beberapa strategi yang
dapat digunakan guru dalam membantu peserta didik mengembangkan proses-proses
kognitifnya[13].
1. Ajak peserta didik untuk memfokuskan
perhatian dan meminimalkan gangguan. Hal ini dapat
dilakukan guru dengan mengemukakan tujuan pembelajaran, mengemukakan tentangpentingnya
materi bagi mereka. Kemukakan juga kepada peserta didik betapa pentingnya
memfokuskan perhatian ketika ia harus mengingat sesuatu. Beri mereka latihan
memfokuskan perhatian tanpa adanya gangguan.
2. Gunakan isyarat, gerakan dan
perubahan nada suara yang menunjukkan bahwa ada sesuatu yang penting.
Caranya bisa dengan memperkeras suara, mengulangibsesuatu dengan penekanan,
berjalan keliling ruangan, menunjuk dan sebagainya.
3. Bantu peserta didik untuk membuat
isyarat atau petunjuk sendiri atau memahami satu kalimat yang perlu mereka
perhatikan. Beri pariasi dari bulan ke bulan dan menu opsi
untuk pilihan, seperti “perhatian”, “fokus”, atau “ingat”. Biarkan mereka
mengungkapkan kata-kata tersebut atau mengucapkannya dalam hati pada diri
mereka untuk memfokuskan kembali fikiran mereka yang mungkin tidak konsentrasi.
4. Gunakan komentar konstruksional,
sseperti “baik, mari kita diskusikan .....sekarang perhatikan”.
5. Buat pembelajaran menjadi menarik.
Caranya mungkin dengan menghubungkan suatu gagasan dengan minat siswa sehinhgga
meningkatkan perhatian mereka, sessekali beri latihan yang tidak bisa dan
menarik. Bangkitkan rasa ingin tahu mereka dengan mengajukan
pertanyaan-pertanyaan seperti: “apa yang akan ter jadi jika ... ?”dan
pertanyaan-pertanyaan dramatis lain untuk memperkenalkan berbagai topik yang
akan diajarkan.
6. Gunakan media dan teknologi secara
efektif sebagai bagian dari pengajaran di kelas.
7. Fokuskan pada pembelajaran aktif
untuk membuat proses pembelajarn menjadi lebih menyenagkan, mengurangi kejenuhan
dan meningkatkan perhatian.
8. Ubah lingkungan fisik dengan
merubah tata ruang, model tempat duduk, atau berpindah pada satu setting
berbeda.
9. Ubah jalur indrawi dengan memberi
satu pelajaran yang mengharuskan peserta didik menyentuh, membaui, atau merasakan.
10. Hindari perilaku yang membingungkan,
seperti mengayun-ayungkan pensil atau menyentuh rambut dikepala.
11. Dorong peserta didik untuk
mengingaat materi pembelajaran secara lebih mendalam, bukan mengingat sepintas
lalu.
Anak akan mengingat informasi dengan lebih baik dalam jangka panjang apabila
mereka memahami informasi tersebut, bukan sekedar mengingat (hafal) tanpa
pemahaman. Pengulangan akan bekerja baik untuk penyandian informasi kememori
jangka pendek. Namun, jika peserta didik perlu mengambil informasi dari memori
jangka panjang, maka strategi pengulangan ini tidak efisien. Jadi, untuk
sejumlah besar informasi, dorongan peserta didik untuk memahaminya, memberinya
makna, mengelaborasi, dan mempersonifikasikannya. Beri peserta didik konsep dan
ide untuk diingat, dan kemudian tanyakan kepada mereka bagaimana mereka dapat
menghubungkan konsep dan ide tersebut dengan pengalaman personal dan makna
personalnya. Beri mereka latihan untuk mengelaborasi suatu konsep agar mereka
mampu memproses informasi secara lebih mendalam.
12. Bantu peserta didik menata
informasi yang akan dimasukan kedalam memori. Para ahli
psikologi pendidikan belakangan ini lebih memfokuskan perhatian pada bagaimana
anak menyusun memori mereka ketimbang bagaimana anak menambahkan sesuatu
kedalam memori. Penataan informasi ini dianggap penting, karena peserta didik
akan mengingat informasi dengan lebih baik jika mereka menatanya secara
hierarkis. Semakin tertata informasi yang disajikan guru, maka semakin mudah
peserta didik mengingatnya.
13. Bantu peserta didik mengingat
kembali informasi yang disajikan sebelumnya. Para ahli teori
kognitif percaya bahwa pembelajaran merupakan satu masalah mengenai integrasi
informasi baru dengan struktur kognitif yang ada. Sebelum integrasi dapat
dibuat, peserta didik harus mampu mengingat kembali informasi yang sudah mereka
peroleh.
14. Bantu peserta didik memahami dan
mengombinasikan informasi. Mungkin strategi tunggal terbaik
untuk membantu peserta didik memahami pelajaran dan mengombinasikan informasi
lama dengan informasi baru adalah membuat setiap pembelajaran bermakna mungkin.
Pembelajaran yang bermakna, bukan hanya dilihat dari aspek materi atau bahannya
yang bermakna, tetapi juga bermakna bagi peserta didik secara khas. Betapapun
materi yang disajikan bermakna, tetapi peserta didik sendiri tidak menemukan
makna tersebut bagi diri mereka, maka keahlian, keterampilan, dan pemahaman,
tidak mungkin terbentuk pada diri [peserta didik, dengan demikian, pembelajaran
yang bermakna dipersentasikan dengan kosakata yang memiliki arti bagi peserta
didik. Istilah-istilah baru dijelaskan dengan menggunakan kata dan ide yang
lebih akrab. Pembelajaran yang bermakna juga harus diorganisasi dengan baik
dengan hubungan yang jelas diantara elemen pembelajaran yang berbeda.
15. Latih peserta didik menggunakan
strategi mnemonik. Mnemonik
adalah salah satu strategi memori dengan cara menghafal (seni menghafal) tujuan
mnemonik adalah untuk menghubungkan
materi baru yang diajarkan dengan informasi lama yang sudah dikenal baik.
E.
IMPLIKASI
KARAKTERISTIK PERKEMBANGAN ANAK USIA SEKOLAH MENENGAH TERHADAP PENYELENGGARAAN
PENDIDIKAN
1. Karakteristik
Perkembangan Fisik dan Perilaku Psikomotorik
Perkembangan
fisik pada usia remaja—terutama remaja awal (usia SMP) berlangsung sangat
cepat. Kecepatan perkembangan fisik ini sering menyebabkan kekurangseimbangan
pada proporsi tinggi dan berat badan.
Perilaku
psikomotorik pada usia remaja menunjukan gerakan-gerakan yang canggung dan
kurang terkoordinasikan. Pada masa ini terjadi perbedaan perkembangan psikomotor
antara perkembangan remaja puteri dengan remaja pria. Remaja putri biasanya
lebih cepat berkembang sekitar 1-2 tahun dibandingkan dengan remaja pria. Perubahan
suara pada laki-laki dan menstruasi pada wanita, dapat menimbulkan gejala
emosional tertentu, seperti rasa malu. Matangnya organ reproduktif membutuhkan
pemuasan biologis.
Dengan
memperhatikan perkembangan fisik anak usia sekolah menengah, pendidikan
seyogianya menerapkan satu model pendidikan yang memisahkan pria dan wanita
pada saat menjelaskan tentang perkembangan anatomi dan fisologi. Umpanya dalam
pelajaran biologi atau bisa juga dalam Pelajaran Pendidikan Jasmani dan
Kesehatan, ketika menjelaskan pokok bahasan tentang anatomi manusia, sebaiknya
kelas pria dan wanita di pisah, supaya anak dapat dengan bebas menanyakan
segala hal yang berkait erat dengan perkembangan dirinya. Pendidikan jenis
kelamin (lebih dikenal dengan pendidikan seks) hendaknya diberikan secara
bijaksana, supaya anak mengenal lebih jauh tentang segala hal yang berkaitan dengan
seks. Orang tua jangan tabu untuk membicarakan seks dengan remaja. Remaja lebih
baik bertanya kepada orang tua atau guru, daripada bertanya kepada pihak-pihak
yang jutru akan menjerumuskan mereka.
Guru
pembimbing dissekolah dapat berinisiatif untuk mengundang narasumber
(penceramah tamu) seperti dokter ke sekolah. Adakan diskusi untuk memperjelas
tentang pendidikan seks. Informasikan bahaya perilaku-perilaku menyimpang dalam
pemuasan kehidupan seksual, seperti onani, mastur basi, prostitus, terhadap
kesehatan badan dan kesehatan mental. Kuras tenaga remaja untuk kegiatan yang
lebih bermanfaat. Sekiranya energi remaja telah tersalur ke dalam kegiatan
positif, maka remaja tidak memiliki peluang untuk melamun, atau melakukan
kegiatan-kegiatan yang menyimpang.
2. Karakteristik
Perkembangan Bahasa dan Perilaku Kognitif
Pada
usia remaja tumbuh keinginan untuk mempelajari dan menggunakan bahasa asing.
Keinginan remaja untuk menguasai bahasa asing terkadang tidak diimbangi oleh
usaha yang sungguh-sungguh. Kelemahan dalam fonetik umpamanya, dapat menjadi
bumerang, menjadi cemoohan teman lainnya. Akibatny sering menjadi fatal. Remaja
jadi membenci pelajaran bahasa asing, bahkan membenci gurunya.
Guru
bahasa asing harus memilki kearifan untuk memahami kemampuan remaja secara
individual. Menurut Abin Syamsuddin Makmun (1999:96) guru dituntut untuk melakukan
pemahaman yang mendalam, serta menyediakan layanan pendidikan dan bimbingan
yang bijak sehingga siswa-siswa remaja yang biasanya mengalami kesulitan dan
kelemahan tertentu dalam bidang studi yang sensitif tersebut. Apabila kesulitan
yang dihadapi siswa tersebut dapat diatasi dengan baik, siswa tidak akan
mengalami frustasi.
Keinginan
siswa sekolah menengah untuk membaca telah tumbuh. Peluang ini hendaknya
dimanfaatkan guru untuk memberkan tugas-tugas yang berkaitan dengan pemaknaan
terhadap bacaan yang positif. Karena kalau hasrat membaca ini tidak disalurkan
maka sering terjadi siswa sekolah menengah akan terdorong untuk membaca
buku-buku atau majalah porno.
Dalam
hal perkembangan kognitif, siswa sekolah menengah telah mampu mengoperasikan
kaidah-kaidah logika formal, seperti asosiasi, diferensiasi, komparasi dan
hubungan sebab-akibat (causalitas) meskipun masih bersikap abstar dan relatif
terbatas. Kecakapan-kecakapan khusus (bakat) menunjukkan kecenderungan arah
perkembangan yang lebih jelas.
Perkembangan
bahasa dan perilaku kognitif remaja ini membawa implikasi terhadap pendidikan
di sekolah. Guru hendaknya menerapkan pendekatan pembelajaran yang
memperhatikan perbedaan individual sisswa sekolah menengah. Guru juga dapat
mengembangkan model pembelajaran yang memberi peluang bagi siswa unggul
memberikan imbas terhadap siswa yang lambat (semacam tutor sebaya dan bimbingan
teman sebaya).
3. Karakteristik
Perilaku Sosial, Moralitas dan Keagamaan
Karakteristik
perilaku sosiial sekolah menengah adalah adanya kecenderungan ambivalensi
keinginan menyendiri dengan keinginan untuk bergaul dengan banyak teman, dan
ambivalensi antara keinginan untuk bebas dari dominasi pengaruh orang tua dengan
kebutuhan bimbingan dan bantuan dari orang tuanya. Siswa sekolah menengah
memilki ketergantungan yang kuat kepada kelompok sebaya disertai dengan
konformitas yang tinggi.
Dalam
aspek pemahaman moral, usia remaja adalah usia yang kritis untuk menguji
kaidah-kaidah, nilai etika atau norma dengan kenyataan yang terjadi dalam
kehidupan sehari-hari orang dewasa.
Perkembangan
aspek keagamaan, anak usia sekolah menengah memasuki masa kritis dan skeptis.
Anak usia sekolah menengah mulai mempertanyakan secara skeptis mengenai
eksistensi (keberadaan) dan sifat kemurahan dan keadilan Tuhan. Usia sekolah
menengah berupaya mencari dan mencoba menemukan pegangan hidupnya (Abin
Syamsuddin Makmun, 1999:93).
Implikasi
dari perkembangan perilaku sosial, moral, dan keagamaan anak usia sekolah
menengah adalah pendidikan hendaknya dilaksanakan dalam bentuk
kelompok-kelompok, atau perkumpulan remaja yang positif. Sekolah hendaknya
menciptakan suasana dan menyediakan fasilitasyang memungkinkan terbentuknya
kelompok-kelompok remaja yang mempunyai tujuan dan program-program kegiatan
yang positif berdasarkan minat siswa.
4. Karakteristik
Perilaku Afektif, Konatif, dan Kepribadian
Memasuki usia sekolah
menengah, lima kebutuhan dari Maslow, yaitu:
- Kebutuhan fisik,
- Kebutuhan rasa aman,
- Afiliasi sosial,
- Penghargaan, dan
- Perwujudan diri.
Reaksi
dan ekspresi emosinya masih labil dan belum terkendali dan sering berubah
dengan cepat. Masa usia sekolah menengah ini merupakan masa krisis identitas.
Sekiranya kondisi psikososialnya menunjang maka akan tampak identitas yang
positif, sebaliknya jika tidak menunjang akan tampak identitas yang negatifnya.
Karakteristik
ini menuntut pe,berian contoh perilaku keteladanan dari orang tua, pendidik,
para elit politik, para pejabat, da tokoh-tokoh idola anak usia sekolah
menengah. Ambivalensi penerapan nilai dalam berbagai tataran masyarakat dengan
di sekolah akan menambah kebingungan anak remaja. Oleh karena itu, guru
hendaknya memberikan peluang bagi anak usia sekolah menengah untuk belajar
bertanggung jawab[14].
Karakteristik tersebut
menuntut guru untuk[15]:
1. Menerapkan model
pembelajaran yang memisahkan siswa pria dan wanita ketika membahas topik-topik
yang berkenaan dengan anatomi dan fisiologi;
- Menyalurkan hobi dan minat siswa melalui kegiatan-kegiatan yang positif;
- Menerapkan pendekatan pembelajaran yang memperhatikan perbedaan individual atau kelompok kecil;
- Meningkatkan kerja sama dengan orang tua dan masyarakat untuk mengembangkan potensi siswa;
- Menjadi teladan atau contoh, serta
- Memberikan kesempatan kepada siswa untuk belajar bertanggung jawab.
F.
IMPLIKASI PROSES PENYESUAIAN REMAJA TERHADAP
PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN
Lingkungan sekolah mempunyai pengaruh yang besar terhadap perkembangan jiwa
remaja. Sekolah selain mengemban fungsi pengajaran juga fungsi pendidikan
(transformasi norma). Dalam kaitannya dengan pendidikan ini, peranan sekolah
pada hakikatnya tidak jauh dari peranan keluarga, yaitu sebagai rujukan dan
tempat perlindingan jika anak didik mengalami masalah. Oleh karena itulah
disetiap sekolah lanjutan ditunjuk wali kelas yaitu guru-guru yang akan
membantu anak didik jika ia (mereka) menghadapi kesulitan dalam pelajarannya
dan guru-guru bimbingan dan penyuluhan untuk membantu anak didik yang mempunyai
masalah pribadi, dan masalah penyesuaian diri baik terhadap dirinya sendiri
maupun terhadap tuntunan sekolah[16].
Upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk memperlancar proses penyesuaian diri
remaja khususnya di sekolah adalah:
1.
Menciptakan
situasi sekolah yang dapat menimbulkan rasa “betah” atau (at home) bagi anak
didik, baik secara sosial, fisik maupun akademis
2.
Menciptakan
suasana belajar mengajar yang menyenangkan bagi anak.
3.
Usaha memahami
anak didik secara menyeluruh, baik prestasi belajar, sosial, maupun seluruh
aspel pribadinya.
4.
Menggunakan
metode dan alat mengajar yang menimbulkan gairah belajar.
5.
Menggunakan
prosedur evaluasi yang dapat perbesar motivasi belajar.
6.
Ruangan kelas
yang memenuhi syarat-syarat kesehatan.
7.
Peraturan atau
tata tertib yang jelas dan di pahami murid-murid.
8.
Teladan dari
para guru dari segala segi pendidikan.
9.
Kerjasama dan
saling pengertian dari para guru dalam melaksanakan kegiatan pendidikan
disekolah.
10. Pelaksanaan program bimbingan dan penyuluahan yang
sebaik-baiknya.
11. Situasi kepemimpinan yang penuh saling pengertian dan
tanggung jawab baik pada murid maupun pada guru.
12. Hubungan yang baik dan penuh pengertian antara sekolah
dengan orang tua siswa dan masyarakat.
Karena disekolah guru merupakan figur pendidik yang penting dan besar
pengaruhnya terhadap penyesuaian siswa-siswa, maka dituntut sifat-sifat guru
yang efektif, yakni sebagai berikut ( Ryand dalam Garrison, 1956)[17].
1.
Memberi
kesempatan (alert), tanpak antusias dan berminat dalam aktivitas siswa dan
kelas.
2.
Ramah (cheerful)
dan optimistis.
3.
Mampu mengontrol
diri, tidak mudah kacau (terganggu), dan teratur tindakannya.
4.
Senang kelakar,
mempunyai rasa humor.
5.
Mengetahui dan
mengakui kesalahan-kesalahannya sendiri,
6.
Jujur dan
objektif dalam memperlakukan siswa.
7.
Menunjukkan
pengertian dan rasa simpati dalam bekerja dengan siswa-siswanya.
Jika para guru bersama dengan seluruh staf di sekolah dapat melaksanakan
tugasnya dengan baik, maka anak-anak didik disekolah itu yang berada dalam usia
remaja akan cenderung berkurang kemungkinannya untuk mengalami
permasalahan-permasalahan penyesuaian diri atau terlibat dalam masalah yang bisa
menyebabkan perilaku yang menyimpang.
[1] Enung Fatimah, Psikologi Perkembangan, (Bandung, CV
Pustaka Setia) hal 11.
[2] Ibid, hal 12.
[3] Ibid.
[4] Mulyani
Sumantri, Perkembangan Peserta Didik,
( jakarta:Universitas terbuka, 2007) hal 6.3-6.4
[5] http//wikipedia dikunjungi
tanggal 27-05-2011
[6] Op. Cit, hal. 6.5
[7] Ibid hal 6.6-6.12
[8] http//www.implikasi-karakteristik-peserta didik.
Dikunjungi tanggal 27-05-2011
[9] Op. Cit, hal 6.13
[10] Ibid.
[11]Ibid
[12] Ibid. Hal 6.17
[13] Desmita. Psikologi Perkembangan Peserta Didik
(Bandung: Rosda Karya). Hal 128
[14] Op. Cit, hal 6.25-6.30
[15] http//www.
Implikasi Karakteristik Peserta Didik, dikunjungi tanggal 27-05-2011
[16] Sunarto. Perkembangan Peserta Didik, (Bandung:
Rineka Cipta) hal 239
[17] Ibid. hal
240
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan Karakteristik pribadi yang dibawa ke sekolah terbentuk dari pengaruh lingkungan. Hal itu berpengaruh besar terhadap keberhasilan atau kegagalannya disekolah dan pada masa-masa perkembangan selanjutnya. Karakter pada anak SD yaitu senang bermain, senang bergerak, senang bekerja dalam kelompok,senang melaksanakan/memmragakan sesuatu secara langsung. Sedangkan karakteristik pada usia sekolah menengah reaksi dan ekspresi emosinya masih labil dan belum terkendalidan sering berubah dengan cepat. Masa usia sekolah ini merupakan masa krisis identitas. Sekiranya kondisi psikososialnya menunjang maka akan tampak identitas yang positif, sebaliknya jika tidak menunjang akan tampak identitas yang negatifnya.
B. Saran
Demikian makalah yang sangat sederhana ini kami sampaikan dan atas kesalahan dan kekurangannya kami mohon masukan demi kesempurnaan makalah ini. Semoga bermanfaat!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar